Unggahan, Ritus Kuno Penganut Kepercayaan Bonokeling Jelang Puasa

Di sebuah Desa di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, terdapat suatu wangsa penganut kepercayaan Jawa kuno yang sangat menjunjung tinggi sosok leluhur. Sebagai salah satu wujud penghormatan tertinggi, wangsa kejawen tersebut menggelar ritual ‘Unggahan’ atau berziarah ke pusara makam keramat leluhur mereka yang dikenal dengan nama Kyai Bonokeling.
Ritual Unggahan bagi masyarakat penganut kepercayaan Bonokeling sejatinya memiliki makna nyaris serupa dengan tradisi nyadran atau berziarah mengunjungi makam leluhur yang biasa dilakukan umat muslim menjelang bulan Ramadan tiba.
Perbedaannya adalah wujud pengemasan ritus adat itu sendiri yang masih menjunjung tinggi kearifan lokal sebagai sebuah upaya melestarikan tradisi turun temurun warisan leluhur mereka.
Tradisi atau perlon Unggahan tersebut digelar di Desa Cagar Budaya Pekuncen, Kabupaten Banyumas, sekitar satu jam perjalanan darat dari Kota Purwokerto, Jawa Tengah.

Sebagai warisan budaya adiluhung ratusan tahun silam dari tanah Banyumas yang agraris dan wujud kearifan lokal masyarakat Jawa kuno, ritual Unggahan selalu dilaksanakan oleh para anak putu atau sebutan bagi mereka para pengikut ajaran Kyai Bonokeling setiap tahunnya di hari Jumat terakhir sebelum bulan Ramadan tiba.
Layaknya seperti sebuah momen epic dan kolosal, ritual ini melibatkan sekitar seribu lebih manusia penganut kepercayaan ini dari sejumlah desa di Kabupaten Cilacap dan Kabupaten Banyumas.
Ritual atau tradisi Unggahan ini dimulai dari Desa Adiraja, sebuah desa kecil di Kabupaten Cilacap tempat bermukim mayoritas wangsa penganut aliran kepercayaan ini.
Saat pagi hari dimana matahari belum bersinar terlalu menyengat, mereka memulai ritual Unggahan dengan melakukan caos bekti atau semacam salam penghormatan pada para bedogol atau tokoh-tokoh pemangku yang dituakan di dalam rumah adat pasemuan.
Seusai prosesi caos bekti, mereka kemudian berjalan kaki puluhan kilometer menuju Desa Pekuncen yang berada di Kabupaten Banyumas.
Tak pandang usia maupun kasta, semua sama rata, berjalan kaki sebagai simbol napak tilas perjalanan leluhur mereka Kyai Bonokeling dalam menyebarkan ajarannya.
Beberapa diantaranya sambil memanggul ongkek berisi sesaji dan uba rampe berisi hasil ladang dan ternak mereka sebagai persembahan.


Sesampainya di Desa Pekuncen, mereka para pengikut kepercayaan ini dari Desa Adiraja, Kabupaten Cilacap langsung disambut oleh para warga Desa Pekuncen, Banyumas selaku tuan rumah selayaknya saudara sendiri.
Pintu rumah warga di seantero desa tak ada yang tertutup, atau bahkan terkunci. Semua warga membuka lebar-lebar pintu rumahnya untuk dapat menjadi tempat beristirahat saudara jauh mereka sebelum melanjutkan ritual.
Tak terkecuali dengan saya, Sumitro sang Ketua Kelompok Pelestari Adat Bonokeling Desa Pekuncen, Banyumas, pun dengan hangat dan penuh keramahan mempersilahkan saya tinggal di rumahnya untuk bermalam, lengkap dengan jamuan makan malam yang teramat nikmat dan bergelas-gelas kopi sebagai teman ngobrol malam hari.
Dalam beberapa hari, Desa Pekuncen tempat pusara makam keramat Kyai Bonokeling berada mendadak sibuk oleh hiruk pikuk ribuan manusia.
Seluruh sudut desa riuh ramai selayaknya menggelar sebuah hajatan agung nan sakral.
Di pertengahan hingga sepertiga malam sebelum fajar tiba di ufuk timur, para warga penganut kepercayaan Bonokeling berkumpul menyuarakan semacam tembang-tembang dalam bahasa Jawa setempat.
Alunan tembang tersebut berisi puji-puji bagi sang Kyai Keramat, yakni Kyai Bonokeling.



Keesokan harinya, kaum pria bergotong royong menyembelih hewan ternak hasil persembahan dari para anak putu trah Bonokeling yang dibawa dari Desa Adiraja, Kabupaten Cilacap.
Daging hewan ternak dan hasil bumi persembahan para warga penganut Bonokeling itu kemudian dimasak dalam tungku dan wajan besar untuk dimakan bersama-sama secara massal di seputaran area pusara makam keramat sang Kyai Bonokeling.
Menginjak siang hari, ratusan perempuan berbalut kemben dengan selendang putih berbahan kain lawon melingkari pundak berbaris mengular panjang.
Satu per satu dari mereka kemudian masuk secara perlahan menuju pintu gerbang pusara makam keramat sang Kyai Bonokeling.
Dalam keheningan, mereka membasuh tangan, kaki, dan wajah sambil komat kamit mengucap mantra dan doa.
Kemudian mereka duduk bersimpuh sambil mengatupkan kedua telapak tangan dan mengangkatnya setinggi kening di kepala untuk menhaturkan hormat di depan makam keramat.
Kaum wanita sengaja didahulukan memasuki kompleks makam karena dalam kepercayaan Bonokeling.
Bagi para penganut kepercayaan Bonokeling, wanita merupakan perwujudan ibu bumi yang menghasilkan keturunan anak cucu pengikut Bonokeling hingga saat ini.
Oleh sebab itu, kedudukan wanita dalam kepercayaan kejawen kuno ini sangat lah dihormati.
Sedangkan kaum pria baru menyusul saat sore hari sambil membawa makanan yang telah dimasak pagi harinya menuju ke dalam pusara makam.



Sosok Kyai Bonokeling
Asal usul sosok Kyai Bonokeling sendiri memiliki berbagai macam versi dan anggapan. Berdasarkan penjelasan Sumitro yang telah dianggap sebagai ketua adat Desa Pekuncen, sesungguhnya tidak ada yang mengetahui secara pasti sosok Kyai Bonokeling ini.
Namun yang ia ketahui tentang sosok Kyai Bonokeling hanya seorang tokoh dari daerah Pasirluhur, sebuah desa di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat yang berada dalam wilayah kekuasaan Kerajaan Padjajaran di masa lampau.
Namun perihal jati diri Kyai Bonokeling sendiri sesungguhnya memang dirahasiakan dengan tujuan untuk menjaga identitas asli leluhur.
Barangsiapa yang ingin mengetahui dengan sesungguhnya sosok Kyai Bonokeling, maka sangat mutlak hukumnya untuk menjadi pengikut setianya.
Adapun dua cara untuk menjadi pengikut setia yang ‘sah’ dari trah Bonokeling. Yang pertama adalah mempunyai garis keturunan wangsa penganut kepercayaan Bonokeling sendiri.
Setelah itu barulah diuji kesetiaan sang calon pengikut itu dalam mengikuti setiap ritual adat.
Cara yang kedua adalah apabila tidak mempunyai garis keturunan trah anak putu Bonokeling, maka harus menjalani masa todi atau masa ujian selama tiga tahun.
Apabila selama tiga tahun sanggup dengan setia mengikuti segala ritual adat dengan baik, maka diperbolehkan mengikuti dan mempelajari ajaran Bonokeling.
Namun kesemua itu hanya diperbolehkan bagi yang telah menginjak usia dewasa atau 17 tahun.

Ajaran dalam Kepercayaan Bonokeling
Kyai Bonokeling sebagai sosok spiritual kejawen di masa lampau mengajarkan lima ajaran tentang kehidupan bagi wangsa pengikutnya yang masih dijalani hingga sekarang.
Ajaran yang pertama adalah monembah yang berarti sebagai manusia dianjurkan beribadah dan menyembah kepada Tuhan sesuai keyakinan masing-masing.
Ajaran yang kedua adalah moguru yaitu patuh terhadap perintah orang tua. Ketiga, mongabdi yang berarti saling menghargai dan menjalin hubungan antar sesama manusia.
Keempat, makaryo yang berarti bekerja, sebab tanpa bekerja manusia tak bisa mendapatkan penghasilan yang dapat menunjang kehidupannya di dunia.
Dan ajaran yang terakhir adalah manages manunggaling kawula Gusti, yang artinya hubungan manusia dengan Tuhan tidak melalui perantara apapun seperti beberapa agama yang memiliki utusan atau rasul.
Dalam keyakinan Bonokeling, setiap orang yang lahir di muka bumi adalah titipan Tuhan. Oleh karena itu, dalam berinteraksi dengan Tuhannya bersifat langsung tanpa perantara.
Adapaun keunikan aliran kejawen dalam kepercayaan Bonokeling ini adalah dimana para wangsa pengikutnya hanya mengenal syahadat, puasa, dan zakat saja. Mereka tidak melakukan shalat secara fisik dan berhaji ke tanah suci.
Bagi para penganut kepercayaan Bonokeling, perilaku sehari-hari seperti berinteraksi dengan sesama manusia dan bercocok tanam sudah merupakan wujud interaksi pada Tuhan, karena mengisi kehidupan dengan kehidupan pula.
Namun walaupun sedikit ‘berbeda’, mereka para penganut ajaran Bonokeling tidak mempertentangkan tata cara Islam pada umumnya yang merujuk pada kitab suci Al-Quran yang diturunkan melalui Nabi Muhammad SAW.

Ikut merekam dan berada di tengah-tengah prosesi adat yang sakral dari wangsa pengikut Bonokeling ini merupakan sebuah pengalaman yang luar biasa.
Ibarat memasuki mesin waktu, jiwa dan raga ini seakan dibawa kembali ke masa lalu pada masa Jawa kuno pasca keruntuhan dinasti Brawijaya dari Kerajaan Majapahit yang termasyur itu.
Di masa itu, kehidupan para manusianya kental dengan berbagai ritual sebagai bentuk harmonisasi diri dengan Tuhan, alam, dan leluhurnya. Semua itu tercermin di Desa Pekuncen.
Di pagi hari, semua warga pengikut aliran Bonokeling itu berseliweran dengan pakaian serba hitam dan tak beralaskan kaki.
Senyum sapa ramah bapak-bapak yang merokok kretek kemenyan selalu menyambut hangat di depan rumah-rumah adat berdinding anyaman bambu beratap limasan.
Dapurnya berlantai tanah penuh tumpukan kayu bakar. Piring dari irisan daun pisang selalu tersaji nikmat saat disantap dengan tangan telanjang. Aku sungguh terpesona oleh eksotisme masa lalu yang terasa sangat nyata ini.

Traveller’s Notes
- Ritual Upacara ‘Perlon Unggahan’ para penganut kepercayaan Bonokeling merupakan ritual tahunan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan.
- Ritual ini diselenggarakan setiap hari jumat terakhir sebelum memasuki bulan puasa.
- Bagi kamu yang ingin menyaksikan atau mengikuti ritual ini, berbusa adat seperti mereka adalah mutlak. Iket kepala, beskap hitam dan jarik batik bagi laki-laku dan kebaya hitam serta jarik batik bagi perempuan, dan semuanya tanpa alas kaki.
- Bagi kamu yang ingin merekam citra (foto dan video) prosesi ritual adat ini, diwajibkan mengajukan izin terlebih dahulu pada ketua adat setempat. Ketika sudah mendapatkan izin, jagalah sikapmu, hormati semua peraturan adat dan junjung tinggi etika ketika mengambil gambar. Manusiakanlah subyekmu selayaknya kamu dimanusiakan oleh mereka, jangan jadikan mereka hanya sebagai obyek visualmu semata.
- Jangan bersikeras memasuki area makam keramat dengan alasan apapun bila tidak diizinkan oleh ketua adat setempat.
- Bila kamu membutuhkan penginapan, kamu bisa mencarinya di Kota Purwokerto. Pilihan kedua, kamu bisa numpang bermalam di rumah warga desa. Tak perlu khawatir, mereka sangat ramah, asalkan kamu menghormati mereka.
- Jaga dan simpan sampahmu.
Pastikan Lihat yang Keren Ini Juga Ya… 😎
Upacara Mahesa Lawung: Ritual Jawa Kuno Napak Tilas Keraton Kasunanan Surakarta
Upacara Melasti Parangkusumo: Ritual Melarung Sesaji Dan Membasuh Diri Jelang Perayaan Nyepi
Adu Ketangkasan Memanah Melalui Jemparingan Jawi Mataram
Paket Arung Jeram Sungai Elo: BIKIN KETAGIHAN! 😎
Paket Wisata Arung Jeram Sungai Progo Bawah: SERU & MENANTANG 🔥
Paket Wisata Arung Jeram Sungai Serayu: Lika Liku Kehidupan 😜